Tebaran debu menjadi ciri khas kota metropolitan ini. Karena, memang hanya polutan yang menggumpal di depan mukaku. Bagi masyarakat kota itu, polutan sudah mejadi hal yang biasa dijumpai. Terik sang bintang siang menyempurnakan kamus kehidupan kota ini.
Kala tubuh ini meronta, mencoba membawa ke gubuk keterpurukan. Aku hanya sendiri membawa sisa gorengan. Teman-teman baruku hanya menganggap jualanku ini sekardus sampah. Tapi, bagiku dan keluargaku sekardus sampah ini adalah karung emas keluarga kami.
Bayang-bayang cemooh teman-teman SMA N 1 Harapan terbesit dalam benakku. Aku sadari di sana aku hanya siswa yang diterima melalui jalur prestasi. Tak sebanding dengan mereka yang rata-rata seluruh peserta didik merupakan anak konglomerat.
Waktu satu minggu di SMA 1 Harapan, batin yang terasa tertekan, diriku yang terlalu menggantung pada alam, kalaulah dia mau bersahabat. Teguran-teguran yang tak pernah memihak pada jualanku ini terasa terkoyah batin ini. Mengapa dunia konglomerat menjadikan aku pecundang?.
Hari ini aku memprediksikan cuaca bersahabat denganku. Fajar senantiasa mengawali kehidupan keluargaku. Ada senyum dari mulut keluargaku, juga tersimpan harapan rizki hari ini memihak pada kami. Ibuku senantiasa memahami keadaanku. “Nak, Allah melahirkan manusia di dunia pasti ada kekurangan dan kelebihan. Bapak ibu memang belum bisa menghidupi keluarga ini dengan layak. Tapi, ingatlah Allah akan selalu bersama dengan orang-orang yang sabar. Kejar cita-citamu setinggi mungkin. Berikan hal terindah dalam realiata kehidupan bapak ibumu. Kamu anak baik, pintar, cerdas. Kamu adalah harapan kami, bangsa serta agama. Tetap semangat anakku, doa bapak ibu senantiasa menyertaimu”. Digerak-gerikkan telapak tangannya yang lembut menyisir rambutku yang terhelai panjang. Mutiara yang terlinang di telingaku mampu melunakkan batinku.
Memang sekolahnya telah mencapai SBI (Sekolah Berstandar International). Aku selalu berharap sekolah ini tak pernah memandang status, latar belakang. Namun, sudah menjadi adat SMA ini. Tak apalah, aku akan pertahanin prestasiku ini, supaya bapak ibu di rumah tak pernah memfikirkan biaya sekolahku.
Sesampai di kelas, seperti biasa aku menjajakan gorenganku. Fia, Novel, Karin dan Siska atau Fia CS tak bosan-bosannya berceloteh di depan jualanku. “Mau sekolah apa jualan lu?, sekolah megah gini masak ada murid yang jualan. Mau jadi apa lu?. Marketing cilik?”. Namun, senyum lembut yang aku berikan.
“teeeeeeeettt”. Bel istirahat berbunyai. Nggak ada angin, nggak ada hujan. Tiba-tiba Kevin menghampiri bangkuku. “Kantin yuk”. Ajak Kevin. Si cowok tercool yang pernah aku jumpai. “Hmm, lu mau jalan sama gue?”. Jawabku cepat. Tanpa fikir panjang Kevin mengayuh tanganku dan membawaku menuju kantin. Di jalan pun kami diam tanpa kata. Dan kembali ke kelas.
Mentari pagi menjelang terik yang panas mulai datang. Mendung begitu hitam, angin bertiup mulai kencang. Hujan deras akan datang. Menjadi kekhawatiran warga sekolah SMA N 1 Harapan.
Menjelang dzuhur, hujan mulai turun. Dilanjutkan gemuruh petir yang buyar. Angin kencang melengkapi suasana genting ini. “ Sorry, gue tadi ngajak lu ke kantin”. Kevin tiba-tiba datang ke bangku paling pojok belakang. Dimana aku duduk. Dan Kevin langsung pergi. Aku terdiam. Aku tak mengerti dengan apa yang telah Kevin ucap tadi. Tanpaku sadari jualan yang ada di bawah mejaku telah lenyap. Ku cari sampai ke sudut-sudut kelas tak ada hasil. Tak putus asa aku mencarinya sampai ke luar kelas. Tapi, tak ku temukan juga. Tuhan cobaan apalagi yang kau berikan kepadaku?. “Vin!”. Suara lantang dan hati ini menggerutu menemui Kevin. Sejenak kelas pun tersentak terdiam. “plllaaakkkk”. Tamparan keras mengenai tulang dahi Kevin. Aku tak sadar kendali. Aku merasa sangat dilecehkan. Daganganku. Hujan deras telah mendesainnya. Tercecer di halaman sekolah. Seketika bu elis masuk kelas. Beliau adalah wali kelas kelasku. “Apa yang kamu lakukan?”. Keheningan pun kembali. Aku menjelaskan semua yang terjadi. Dan Kevin mengaku salah. Namun, terjadi perdebatan Fia dan Aku. Kutundukkan kepalaku. Perlahan kuberusaha tatap wajah Kevin. Namun, tak ada sedikitpun Kevin bersalah.
Kubersihkan daganganku yang tercecer di halaman sekolah. Tak terbanyangkan Kevin datang menghampiriku dia berusaha membantuku. Hati kecilku terluluh akan kebaikan Kevin. “Vin, benar kamu yang lakuin semua?”. Tak sedikitpun mulut Kevin terbuka. Tak pernah Kevin sedikitpun meremehkan bahkan membedakan aku dengan yang lain.
Tanpa rasa minder aku berusaha bisa berteman dengan Kevin. Aku nggak tau. Mungkin aja dia jijik berteman denganku. Terserah anak lain mau bilang aku apa. Nggak tau diri atau apalah.
Tragisnya ku mendengar Fia CS mengungkit masalahku dan Kevin. “Jdi kalian yang melakukan semua ini?”. Serentak Fia CS terbata-bata. “kalian nggak pernah capek ya buat ganggu kehidupanku, ingat meskipun semua warga sekolah tak pernah melihat apa yang sebenarnya kalian perbuat, aku yakin suatu saat kalian akan dapat hal tertragis yang belum pernah kalian bayangkan!”. Serentak semua mata terpanah mengarah kepadaku. Cairan bening tertetes dari sudut mata mereka. Dan semakin deras ketika aku meninggalkan mereka. “Kedhah kulo matur “WOW” ngoten?”. Serentak Fia CS.
sekelam apapun beban dalam hidupku,
takkan berlari, apalagi
sembunyi!
sekelam apapun beban dalam hidupku,
takkan berlari, apalagi
sembunyi!
Lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan ! J